3 Tahun Kinerja Sektor ESDM: Menerapkan Kontrak Gross Split Untuk Mendorong Efisiensi Hulu Migas

Jumat, 20 Oktober 2017 - Dibaca 1657 kali

Sejak awal tahun 2017, Pemerintah telah menetapkan skema baru Production Sharing Contract (PSC) Gross Split. Ketetapan ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Kebijakan tersebut diambil seiring prioritas visi Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri Arcandra Tahar dalam mewujudkan bisnis di subsektor minyak dan gas bumi (migas) yang efektif, efisien dan berkeadilan. Terlebih, masa depan bisnis migas ditentukan oleh efisiensi biaya (cost game). Semakin efisien kegiatan operasi migas, maka kontribusi bagi seluruh pemangku kepentingan akan meningkat.

Melalui skema Gross Split, biaya operasi menjadi tanggung jawab kontaktor sehingga tidak mengganggu sistem finansial negara (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN). Dengan begitu, secara tidak langsung menuntut kontraktor melakukan penghematan biaya. Dibandingkan dengan skema pengembalian operasi (PSC cost recovery), skema ini sanggup mengurai rantai birokrasi yang cukup panjang. Eksekusi proyek dan proses procurement migas lebih sederhana dan tidak berpengaruh pada jumlah produksi. Terlebih sejak tahun 2015, tren cost recovery terus merangkak naik dan nilainya lebih besar dari penerimaan negara.

Di samping itu, penerimaan negara menjadi lebih pasti karena besaran bagi hasil (base split) Pemerintah dan Kontraktor telah ditentukan di awal, yakni sebesar 57%:43% untuk minyak, dan 52%:48% untuk gas bumi. Base split tersebut belum termasuk pajak yang dibayarkan kontraktor kepada Pemerintah. Walaupun bagi hasil ditentukan di awal, negara tetap tidak akan kehilangan kendali atas Wilayah Kerja (WK) karena penentuan WK masih berada di tangan negara, penentuan kapasitas produksi dan lifting migas pun ditentukan oleh negara, serta produksi dibagi di titik serah.

Pemerintah juga menyesuaikan 2 (dua) komponen untuk mengedepankan keadilan dan meminimalisir manajemen risiko bisnis di hulu migas. Pertama, komponen variable terdiri dari status lapangan, lokasi lapangan (on shore, offshore), kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, kandungan CO2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan tahapan produksi. Kedua, komponen progresif terdiri dari harga minyak dan kumulatif produksi.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Jonan mengungkapkan, gross split dinilai sanggup memperkuat industri nasional dengan memperhatikan penggunaan TKDN dan menyerap tenaga kerja nasional. Sementara itu, Wamen Arcandra menjelaskan, gross split bisa mengantisipasi pergerakan harga minyak serta mendorong industri menggunakan teknologi kekinian dalam kegiatan eksplorasi migas.

Regulasi anyar ini langsung disambut hangat oleh Pertamina Hulu Energi ONWJ (PHE ONWJ). Wilayah Kerja (WK) Offshore North West Java (ONWJ) tercatat sebagai WK pertama yang menggunakan skema gross split terhitung sejak tanggal 19 Januari 2017 hingga 18 Januari 2037. Kebijakan penerapan gross spilt berlaku bagi kontrak baru, sedangkan untuk kontrak yang terminasi boleh memilih antara cost recovery atau gross split.

Tak cukup di situ, Pemerintah menyempurnakan Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 dengan Permen ESDM Nomor 52 Tahun 2017 untuk lebih menggairahkan iklim investasi. Dalam beleid baru tersebut, terdapat delapan tambahan insentif hulu migas, diantaranya diantaranya komponen progresif harga minyak, komponen progresif harga gas bumi, komponen progresif kumulatif produksi migas, komponen variabel status lapangan, komponen variabel tahapan produksi, komponen variabel kandungan hidrogen-sufrida (H2S), komponen variabel ketersediaan infrastruktur dan diskresi pemerintah.

Diharapkan dengan perubahan regulasi tersebut mampu menstimulus para investor, salah satunya pemberian insentif tambahan split sebesar 3% jika KKKS melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama (Plan of Development/POD II) dan memperoleh diskresi Menteri ESDM yang dapat memberikan tambahan atau pengurangan split yang didasarkan pada aspek komersialitas lapangan.

Secara umum, kebijakan gross split telah mereduksi kelemahan-kelemahan yang ada dalam skema cost recovery. Apalagi kerap kali cost recovery menimbulkan perdebatan antara Satuan Khusus Kerja Migas (SKK Migas) dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam menentukan biaya dan besaran nilai yang harus di ganti oleh Pemerintah dan biaya mana yang tidak dapat diganti. (AS)

Bagikan Ini!