Pemerintah Mendorong Transisi Energi Melalui Energi Baru Terbarukan dan Efisiensi Energi

Kamis, 26 November 2020 - Dibaca 23023 kali

Indonesia memiliki target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional pada tahun 2025. Kebijakan ini, yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030, merupakan upaya yang jelas menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mewakili Direktur Jenderal Rida Mulyana pada The 9th INDONESIA EBTKE Virtual Conference and Exhibiton 2020 (EBTKE Conex 2020) yang mengusung tema "It's Time to Invest in Renewable Energy for Energy Transitions and Economic Recovery" yang dilaksanakan secara virtual.

Turut hadir Duta Besar Amerika Serikat Michael Quigley, Presiden Adaro Garibaldi Thohir, M.B.A., Kepala SKK Migas Dr. Dwi Soetjipto, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Febby Tumiwa, dan Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Jonathan Austin.

Selama kondisi pandemi COVID-19, seluruh sektor ekonomi mengalami situasi yang menantang, termasuk di sektor energi dan ketenagalistrikan. Permintaan energi secara global menurun karena isolasi dan lockdown yang diterapkan.

"Kita harus mempertimbangkan bahwa EBT dan efisiensi energi akan memainkan peran penting dalam rencana pemulihan ekonomi pasca kondisi pandemi COVID-19 dan memastikan keamanan energi dalam jangka panjang," ujar Jisman, Selasa (24/11).

Jisman menyampaikan sampai dengan semester I tahun 2020, total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional sudah mencapai 71 GW. Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Indonesia sedangkan pembangkit listrik EBT mengambil porsi 14,69% dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional.

Ia menambahkan tren penyediaan pembangkit listrik dalam 10 tahun terakhir mengindikasikan adanya komitmen pemerintah dalam menyediakan energi listrik yang lebih bersih, mulai dari menyediakan pembangkit listrik yang bersumber dari EBT, mengenalkan teknologi Clean Coal Technology (CCT), hingga mengenalkan pembangkit Variable Renewable Energy (VRE) yang memiliki karakteristik intermittent, dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Jisman menyebut pengembangan pembangkit berbasis EBT di Indonesia memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah potensi EBT yang cukup besar namun lokasi yang tersebar. Sosialisasi dan edukasi yang sistemik dan berkesinambungan diperlukan untuk meminimalkan resistensi masyarakat terhadap proyek pembangkit listrik berbasis EBT. Selain itu, tantangan lainnya adalah ketersediaan pinjaman lunak di dalam negeri yang masih terbatas, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pendukung khususnya di wilayah Indonesia Timur, ketergantungan pada teknologi dan perangkat EBT dari luar negeri yang masih tinggi, serta tidak semua pembangkit listrik EBT dapat terintegrasi dan terkoneksi dengan sistem ketenagalistrikan setempat, terutama untuk pembangkit listrik yang memiliki karakteristik intermittent.

Pada kesempatan yang sama Jisman mengatakan dalam menghadapi transisi energi pada subsektor ketenagalistrikan, pemerintah Indonesia membuat beberapa perubahan kebijakan dan peraturan, yaitu mengembangkan pembangkit listrik EBT dapat dilakukan di luar perincian Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) Tahun 2019-2038, pengembangan Smart Grid, merevisi Grid Code, pengembangan Distributed Generation, Micro-grid dan Distributed Storage, pengembangan PLTS Atap, mereviu dan deregulasi peraturan tentang pemanfaatan sumber EBT untuk penyediaan tenaga listrik, dan penggunaan Energi Bersih di Kawasan Khusus Wisata.

Pengembangan EBT secara bertahap akan ditingkatkan dengan mempertimbangkan kesiapan sistem ketenagalistrikan setempat, utamanya terkait VRE yang memiliki karakteristik intermittent, untuk mencapai target bauran energi EBT sebesar 23% di tahun 2025. "Kolaborasi antara pemerintah dan stakeholder terkait sangat diperlukan untuk keberhasilan transformasi sektor kelistrikan, terutama dalam menghadapi era transisi energi," tutup Jisman. (AT)