"Kunang-kunang" di Waengapan

Sunday, 30 September 2018 - Dibaca 1700 kali

Carlos Nurlatu (5) tertawa lebar, memamerkan deretan giginya di sela pijar lampu bohlam yang ia genggam dengan tangan mungilnya. Malam itu, belasan orang menunggu di lapangan dengan membawa bohlam menyala.

Lampu bohlam dalam genggaman orang-orang di lapangan Desa Waengapan, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Maluku, itu bak kunang-kunang raksasa. Mereka merayakan penerangan listrik yang untuk pertama kalinya mereka dapatkan di malam hari. Mereka mengumbar senyum sambil mengagumi bohlam yang cahayanya putih kekuningan di tangan. Kegembiraan tergambar pada wajah-wajah warga Waengapan pada malam sebelum Natal lalu. Masa-masa membakar getah damar untuk pelita di rumah yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya seolah berakhir.

"Sejak kampung ini ada, kami terbiasa memakai getah damar untuk penerangan dalam rumah. Jarang pula yang memakai lampu minyak, harganya mahal kalau cuma untuk penerangan," kata Peter Latubual (52), salah satu warga Waengapan.

Di desa itu, 1 liter minyak tanah bisa bernilai Rp 15.000- Rp 20.000. Jauh lebih mahal dari harga resmi yang ditetapkan pemerintah seharga Rp 2.500 per liter. Begitu pula bensin (premium) dijual rata-rata seharga Rp 15.000 per liter atau lebih mahal dari harga resmi yang Rp 6.450 per liter.

Fendy Nurlatu (32), warga Waengapan yang lain, mengatakan, perlu berjalan semalaman menuju hutan untuk mencari getah damar. Biasanya, orang-orang Waengapan ke hutan mencari getah damar sekali dalam sepekan. Getah damar yang sudah mengering dan keras, jika masih tersisa, dibawa ke pasar untuk dijual seharga
Rp 500 per kilogram.

"Memakai getah damar bisa bikin muka hitam-hitam kena jelaga," ucap Fendy.

Waengapan adalah satu dari 2.519 desa di seluruh Indonesia yang sama sekali belum menikmati penerangan listrik. Desa-desa itu tak terjangkau jaringan transmisi PLN. Kebanyakan desa-desa ini berada di pedalaman, pulau-pulau kecil, atau terletak di perbatasan dengan negara tetangga. Mereka adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang belum banyak menikmati tetesan pembangunan.

Desa Waengapan bisa dijangkau dari Bandara Namrole, Kabupaten Buru Selatan, dengan perjalanan mobil selama hampir 3 jam. Menuju Namrole, bisa ditempuh dengan pesawat udara selama 30 menit dari Ambon atau dengan kapal laut selama 8-9 jam. Beberapa kilometer jalan menuju desa itu berupa tanah berbatu dengan lintasan bukit-bukit kecil. Selain tak ada aliran listrik, air bersih di desa itu pun sekadar mengandalkan sungai kecil yang mengalir tak jauh dari permukiman warga.

"Ini berkah bagi kami. Sejak kampung ini ada, baru kali ini penerangan listrik bisa kami nikmati. Terima kasih Tuhan," kata Antonius Nurlatu, Kepala Desa Waengapan.

Berpuluh tahun lamanya, bahkan sejak NKRI lahir, kata Antonius, kampungnya ibarat terlupakan. Derasnya arus pembangunan, yang banyak terpusat di Jawa, belum dirasakan di Waengapan. Bantuan lampu tenaga surya itu, bagi Antonius, seolah pertanda Waengapan masih dianggap bagian dari NKRI.

Bagi Artus Salasiwa (50), guru yang mengajar di satu-satunya sekolah dasar di Waengapan, lampu itu pun sangat berarti. Dia berharap lampu itu dimanfaatkan murid-muridnya untuk belajar di rumah kala malam. Saat masih menggunakan getah damar untuk pelita, tak bisa diharapkan murid akan belajar di malam hari.

"Cahaya pelita getah damar tidak terang. Sakit di mata. Lagi pula, ia tidak bisa bertahan lama. Tidak pernah sampai satu jam menyala," kata Artus.

Tenaga surya

Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencanangkan program pemberian bantuan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE). Seperti yang diberikan ke Waengapan, paket bantuan LTSHE ini berisi panel tenaga surya berkapasitas 30 watt, empat unit lampu, dan kabel. Selain untuk penerangan, listrik dari panel tenaga surya itu bisa dipakai untuk mengisi ulang daya telepon seluler.

Lampu yang dayanya bisa diisi ulang itu juga bisa digunakan seperti layaknya senter. Umumnya, dari empat unit lampu bohlam yang didapat warga, satu unit dipasang di teras rumah, sisanya dipasang di dalam rumah atau dipakai sebagai alat penerangan saat ke luar rumah.

Pada 2017, pemerintah menganggarkan dana APBN sebesar Rp 332,8 miliar untuk pengadaan 95.729 paket LTSHE di enam provinsi. Keenam provinsi itu adalah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Adapun tahun ini, dianggarkan Rp 1 triliun untuk 15 provinsi.

Kebijakan pemberian LTSHE ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi bagi Masyarakat yang Belum Mendapat Akses Listrik. Pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No 33/2017.

Kepala Unit Pengendalian dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur pada Kementerian ESDM Simon Laksmono Himawan mengatakan, program penyerahan bantuan paket LTSHE itu menjadi bagian dari program pengaliran listrik ke desa-desa terpencil di Indonesia. Sejauh ini, masih ada sekitar 2.500 desa di Indonesia yang belum mendapat akses listrik.

"Untuk sementara, kami hanya bisa memberikan lampu tenaga surya sebagai pengganti getah damar. Menurut rencana, setidaknya dalam tiga tahun ke depan akan masuk aliran listrik dari PLN," tutur Simon.

Nyala lampu bohlam sangat berarti bagi warga yang bermukim nun jauh dari pusat pembangunan. Jauh dari gemerlap kota-kota besar yang biasa bermandikan cahaya di malam hari.

Penulis: Aris Prasetyo, Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik 2018 pada Penghargaan Subroto 2018

Share This!