Ironi Subsidi Energi

Friday, 30 May 2014 - Dibaca 1852 kali

JOGYAKARTA - Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pasokan energy sekaligus menyediakan akses dan memberikan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Besarnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh Negara dengan tujuan memberikan harga energy (listrik dan BBM) yang terjangkau masyarakat menjadi sebuah ironi, karena dana yang mencapai Rp 300 trilun per tahun itu tersebut seharusnya dapat dipergunakan untuk membangun fasilitas umum yang lebih terasa manfaatnya dibandingkan habis untuk subsidi harga energi saja.

Berdasarkan catatan yang ada, perkembangan subsidi energy periode tahun 2005 hingga 2013 menunjukkan peningkatan yang tajam seiring meningkatnya konsumsi dan harga. Tahun 2005, realisasi subsidi energy mencapai Rp 113,9 triliun, menurun menjadi Rp 98,1 triliun tahun 2006, kemudian meningkat kembali menjadi Rp 121,1 triliun pada tahun 2007. Tahun 2008, meningkat tajam menjadi Rp 221,1 triliun dan kembali turun pada tahun 2009 menjadi Rp 98,7 triliun.

Tahun 2010, realisasi subsidi energy kembali turun menjadi Rp 140,4 trilun, tahun 2011, meningkat kembali menjadi, Rp 261,4 triliun, terus meningkat menjadi Rp 315,98 pada tahun 2012 dan turun menjadi Rp 299,8 triliun pada tahun 2013.

Dengan besaran yang disebutkan diatas menunjukkan, porsi subsidi energy dalam APBN tersebut mencapai 17,7 persen dari total belanja Negara tahun 2013. " Subsidi saat ini baik untuk BBM maupun listrik sekitar Rp 300 hingga 350 triliun, subsidi tersebut itu dibakar, ibaratnya menggarami lautan ," ujar Wamen, usai memberikan kuliah umum di Universitas UPN Veteran Yogyakarta, Jumat (30/05/2014).

Selanjutnya Wamen menjelaskan, untuk mengurangi beban subsidi energy yang dapat dilakukan masyarakat secara umum adalah menghemat penggunaan energy. " biaya untuk mematikan lampu, biaya untuk mematikan AC akan jauh lebih murah dibandingkan dengan membangkitkan listrik untuk AC maupun untuk lampu," jelas Wamen. (SF)

Share This!