Hilirisasi Nikel Hasilkan Nilai Tambah Industri Baterai Kendaraan Listrik

Monday, 5 August 2024 - Dibaca 1020 kali

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

NOMOR: 418.Pers/04/SJI/2024

Tanggal: 5 Agustus 2024

Hilirisasi Nikel Hasilkan Nilai Tambah Industri Baterai Kendaraan Listrik

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi nikel. Indonesia sendiri memiliki potensi sumber daya nikel yang sangat besar, mencapai 17 miliar ton dengan cadangan sebesar 5 miliar ton.

"Sekarang ini RKAB produksi (nikel) untuk tahun 2024 itu kurang lebih 240 juta, sedangkan tahun lalu kebutuhan smelter itu 220 juta ton," ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada Temu Media di Jakarta, Jumat (2/8).

Potensi nikel yang melimpah di Indonesia merupakan modal penting untuk pengembangan industri baterai, baik untuk kebutuhan nasional maupun global. Saat ini, industri hilir di dalam negeri belum sepenuhnya berkembang. Oleh karena itu, pemerintah berupaya memberikan insentif kepada badan usaha untuk membangun industri hilir, industri Electric Vehicle (EV), dan infrastruktur pendukung.

"Ini harus kita kendalikan betul-betul sehingga memang hilirnya mempunyai prospek nilai tambah yang lebih baik, bisa menyiapkan tenaga kerja lebih baik, kemudian juga bisa mendukung program transisi energi kita ke industri EV," ujar Arifin.

Kebutuhan baterai di Indonesia hingga tahun 2030 diproyeksikan mencapai 108,2 GWh. Untuk mencapai target 20 juta kendaraan roda empat EV, diperlukan kapasitas baterai sebesar 780 GWh. Saat ini, kapasitas smelter dalam negeri baru mampu memproduksi bahan baku setara 373 GWh, sehingga masih terdapat peluang investasi sebesar 407 GWh dalam sektor baterai EV.

Arifin juga mengungkap bahwa pemerintah tengah mengevaluasi industri-industri berbasis nikel yang menghasilkan nilai tambah rendah dan dianggap sudah mulai memasuki fase sunset. "Itu kita evaluasi untuk tidak dilakukan lagi pengembangan pembangunan pabrik-pabrik barunya, moratorium, stop dulu engga boleh ada lagi," jelasnya.

Lebih lanjut Arifin menjelaskan bahwa salah satu produk yang tidak mempunyai nilai tambah tinggi tersebut adalah nickel pig iron (NPI) yang diproduksi smelter berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). "Jadi tentu aja kita ngeliat konstelasi demand internasional, Perindustrian (Kemenperin) sudah sepakat tidak ada lagi tambahan baru untuk RKEF, NPI," tutup Arifin. (ARN)

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama

Agus Cahyono Adi

Share This!