G20 dan Pengembangan Panasbumi
Oleh : R. Sukhyar Nyaris sudah tidak ada lagi alasan untuk tidak mendorong pengembangan panasbumi di Indonesia. Potensi terbesar di dunia, kebutuhan listrik yang terus meningkat, UU Panasbumi sudah ada dan paling baru adalah statement Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G20-Summit, Pittsburgh, Amerika beberapa hari lalu. Indonesia, menurut Presiden, secara suka rela mentargetkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26 persen hingga 2020. Untuk itu, selain mengurangi penggundulan hutan dan pengalihan pemanfaatan lahan, Indonesia segera melakukan investasi pengembangan energi terbarukan antara lain pemanfaatan sumber energi panasbumi. Kita patut bersyukur memiliki aneka ragam sumber energi. Selain sumber energi fosil, posisi berada di Pasific ring of fire membuat Indonesia memiliki potensi sumber energi panasbumi yang mencapai 28.000 MW tersebar pada 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku dan sebagian Kalimantan. Potensi sebesar itu merupakan 35 persen dari sumber panas bumi dunia. Jika bisa dimanfaatkan selama 30 tahun setara dengan 12 miliar barel minyak bumi untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Kenyataannya, hingga saat ini baru bisa memanfaatkan sumber energi panasbumi sebesar 1189 MW meski sudah sejak 26 tahun lalu mengembangkannya. Tertinggal oleh Philipina. Tekan emisi dan hemat devisa Berdasarkan laporan Badan Energi Dunia (IEA), Indonesia berada di urutan ke 15 penyumbang emisi CO2. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO2 Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO2. Pengembangan sumber panasbumi sebesar 4600 MW melalui program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW tahap II menjadi taruhan janji Presiden dalam G20. Jika berhasil dilaksanakan maka sampai 2014 sumber energi panas bumi yang dimanfaatkan berjumlah 5.789 MW. Ini setara dengan pengurangan emisi CO2 sebesar 38 juta ton dari pengalihan pemanfaatan batubara atau 25 juta ton dari penggantian pemakaian BBM. Disisi lain, pemanfaatan sumber panasbumi tadi juga setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panasbumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panasbumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara. Panasbumi merupakan sumber energi bersih lingkungan, karena tidak memproduksi emisi CO2. Selama kondisi geologi dan hidrologi terjaga keseimbangannya, pembentukan sumber energi panasbumi yang terkait dengan pembentukan magma gunung api pada ring of fire terus menerus terjadi (sustainable). Selain itu juga tidak memerlukan kilang, pengangkutan, bongkar muat dan bersifat lokal. Sehingga, seharusnya tidak tergantung pada fluktuasi harga energi fosil. Sumber energi panas bumi juga tidak dapat diekspor. Sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik atau lokal. Oleh sebab itu pengembangan sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam diversifikasi energi atau mengurangi ketergantungan penggunaan minyak dan gas bumi serta membangun kemandirian energi lokal untuk membangun ketahanan energi nasional. Tantangan dan dukungan Pengembangan panasbumi masih membutuhkan dukungan semua pihak. Keberadaan UU Panasbumi maupun berbagai peraturan yang ada belum mampu mewujudkan pemanfaatan sumber energi panasbumi secara maksimal. Berbagai hambatan dan tantangan masih membutuhkan keseriusan untuk dicarikan solusinya. Berbeda dengan minyak bumi atau barubara, karakteristik sumber energi panasbumi membuat pengembangan dan pengelolaannya tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Hukum permintaan dan penawaran tidak berlaku. Oleh sebab itu peran pemerintah sangat diperlukan guna mengelola dan mengatur para pelaku industri pemanfaatan panasbumi. Melalui peran pemerintah, kepentingan perusahaan penyalur listrik disisi hilir dan perusahaan pengembang sumber panasbumi (produksi uap/listrik) bisa dipertemukan. Bahkan sebaiknya, pelayanan pengembangan panasbumi disisi hulu dan hilir dilakukan satu atap. Sehingga dapat mengintegrasikan perencanaan pemanfaatan di sisi hilir dan pengembangan sumber daya panas bumi di sisi hulu, serta bisa mengatasi persoalan lain seperti keberadaan 10 persen sumber energi panasbumi yang berada di hutan lindung maupun cagar alam. Pola satu atap ini diharapkan juga mengatasi hambatan pengembangan sumber energi panas bumi yang bersifat kedaerahan. Sehingga, kebijakan yang memprioritaskan pemanfaatan panasbumi bagi pembangunan pembangkit listrik pada daerah yang memiliki sumber energi panasbumi tidak terhambat oleh persoalan sosial-kemasyarakatan di daerah. Tentu saja setelah aspek teknis dan dampak lingkungan dinyatakan aman. Pada daerah-daerah yang hanya memiliki sumber energi panas bumi, maka energi panas bumi mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan dibandingkan sumber energi lainnya. Pemerintah ikut serta memikul risiko terutama di sisi hulu, sehingga dapat mengurangi risiko bisnis pengusaha. Potensi besar panasbumi di Indonesia juga merupakan tantangan bagi ilmuwan, akademisi, teknolog maupun pengusaha nasional. Karena tidak semua negara beruntung memiliki sumber energi ini. Penguasaan teknologi pengembangan sumber energi panasbumi oleh pihak nasional bukan hanya menghasilkan nilai tambah industri barang modal dan jasa industri panasbumi dan energi namun juga kebanggaan untuk tidak tergantung pada pihak asing. Keterangan : - Penulis adalah Kepala Badan Geologi, Departemen ESDM. - Artikel sudah dipublikasikan di Harian Kompas 14 Oktober 2009.
Share This!