Teknologi CCS-CCUS Jadi Tren Baru Hadapi Transisi Energi
Bandung, Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) merupakan tren baru dalam menghadapi transisi energi demi mencapai target Net Zero Emission (NZE) global. Dengan semangat kebersamaan dalam menghadapi tantangan yang ada, implementasi CCS/CCUS di Indonesia diyakini akan dapat mendukung peningkatan produksi migas sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
Hal itu mengemuka dalam Diskusi CCS-CCUS sebagai bagian dari acara Forum Komunikasi Keselamatan Migas Tahun 2022 yang digelar Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi di Mason Pine Hotel, Bandung, Kamis (3/11). Diskusi dimoderatori Dewi Mercitarini dari RTI Pertamina dengan narasumber yaitu Juniarto M. Palilu dari Ditjen Migas, Muhammad Rahmat dari ITB, Deni Murdiadi dari DNV dan Pipi Pujiani dari BP Berau.
Diskusi juga menyimpulkan bahwa CCS/CCUS mau tidak mau harus dilaksanakan dalam menghadapi era transisi energi ini dan implementasinya tetap harus mengedepankan keselamatan migas
Berdasarkan Roadmap IEA untuk NZE tahun 2050 di sektor energi, teknologi CCUS akan berkontribusi lebih dari 10% dari kumulatif pengurangan emisi global pada tahun 2050. Sedangkan untuk Asia Tenggara, untuk menjaga agar tujuan Paris Agreement dapat tercapai, kebutuhan CCS/CCUS di Asia Tenggara mencapai 35 juta tCO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 juta tCO2 pada tahun 2050.
Indonesia memiliki banyak lapangan migas dengan kandungan CO2 tinggi. Saat ini terdapat 15 kegiatan CCS/CCUS di Indonesia yang masih dalam tahap studi/persiapan, namun sebagian besar ditargetkan onstream sebelum 2030.
Juniarto M. Palilu dari Ditjen Migas juga menyampaikan pentingnya untuk memastikan bahwa dalam kegiatan CCS/CCUS tidak ada kebocoran sehingga CO2 yang diinjeksikan dapat tersimpan secara aman dan permanen.
Dia melanjutkan, untuk mendukung pemanfaatan CCS/CCUS dalam kegiatan usaha migas, Pemerintah telah menyusun regulasi yang melibatkan pelbagai pihak dan diharapkan rampung dalam waktu dekat ini.
Dalam draft regulasi tersebut, diatur mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga penutupan injeksi. "Dalam tahap pelaksanaan, KKKS wajib menyediakan sistem tanggap darurat yang meliputi penilaian risiko, prosedur tanggap darurat, peralatan tanggap darurat termasuk peralatan peringatan dini, personel terdidik dan terlatih dan pelatihan berkala," paparnya.
Selanjutnya terkait penutupan injeksi, harus dilakukan monitoring untuk menjamin keselamatan pekerja, instalasi dan peralatan, lingkungan, dan/atau
keselamatan umum. Monitoring dilakukan sejak rencana penyelenggaraan CCS/CCUS disetujui sampai 10 tahun setelah penyelesaian penutupan injeksi.
Rencana monitoring dilakukan berdasarkan kaidah keteknikan yang baik, sesuai karakteristik lokasi, menggunakan metode langsung maupun tidak langsung untuk mengidentifikasi potensi risiko seperti kebocoran, kontaminasi air tanah, integritas lapisan zona penyangga, zona kedap dan perangkap geologi, serta potensi risiko lainnya.
Pentingnya monitoring ini juga dikemukakan Muhammad Rahmat dari ITB. Menurut dia, program monitoring harus dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dan perlu pengawasan terhadap resiko yang dapat terjadi. "Bisa saja setelah penutupan injeksi terjadi kebocoran. Jadi harus diidentifikasi untuk menghindari hal tersebut," katanya.
Potensi kebocoran, menurut Rahmat, ada dua macam yaitu pertama, kebocoran akibat menginjeksikan CO2 di mana bagian bawah tekanannya sudah tinggi. Untuk itu harus dilakukan studi bagaimana supaya batuan penutup kuat untuk menahan batuan tambahan. Kedua, kebocoran dari lubang bor sumur produksi.
CCS-CCUS sudah dilakukan di berbagai negara maju seperti Norwegia. Hal ini lantaran negara tersebut memberlakukan carbon tax yang cukup mahal sehingga pelaku bisnis memilih menggunakan teknologi ini untuk menekan emisinya. Sementara untuk Indonesia yang tidak memberlakukan carbon tax yang tinggi, harus mencari solusi agar pelaku bisnis mau melakukan CCS-CCUS.
Dalam diskusi yang berlangsung menarik ini, Pipi Pujiani dari BP Berau menyampaikan bahwa pengembangan dan pelaksanaan EGR/CCUS Tangguh terintegrasi dalam Project UCC (Ubadari, EGR/CCUS dan Onshore Compression) dengan total investasi US$3 miliar. Tangguh EGR/CCUS akan mengurangi emisi hingga 33 mtCO2 hingga 2045 dengan menginjeksi CO2 ke reservoir di Lapangan Vorwata sebanyak 4 mtCO2 per tahun.
Tangguh EGR/CCUS juga akan memberikan produksi tambahan sekitar 300 BSCF hingga 2035 atau 500 BSCF hingga 2045. "Ini akan menjadi CCUS skala besar pertama di Indonesia yang menyelaraskan dan mendukung target produksi gas Pemerintah Indonesia serta target penurunan emisi di 2030," papar Pipi.
Tangguh EGR/CCUS sebagai proyek UCC terintegrasi, akan memberikan kesempatan kerja yang luas sekitar 4000-6000 orang selama masa konstruksi dan pembangunannya melibatkan perusahaan nasional. Proyek ini diharapkan onstream tahun 2026-2027. (TW/KDB)