Migas Goes To Campus Hadirkan Wamen ESDM

Friday, 17 March 2017 - Dibaca 2520 kali

Jakarta, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) menggelar acara "Migas Goes To Campus" dengan tema: Masa Depan Hulu Migas Dan Kontrak Migas Gross Split Untuk Energi Berkeadilan di Fakultas Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Jumat (17/3). Menjadi pembicara utama dalam acara ini adalah Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyampaikan paparan mengenai skema bagi hasil gross split terkait latar belakang, tujuan dan manfaat serta insentif.

Dia menjelaskan, hadirnya skema bagi hasil gross split dimana tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi, dilatarbelakangi karena skema PSC cost recovery kurang efektif dan tidak mendorong tercapainya efisiensi. Reserve replacement ratio Indonesia dengan skema PSC saat ini, lebih rendah dari beberapa negara. Waktu yang diperlukan oleh kontraktor dari eksplorasi hingga produksi mencapai 15 tahun.

Selain itu, porsi penerimaan negara dengan split minyak 85:15 dan gas 70:30 pada PSC cost recovery, apabila dihitung secara gross berada di kisaran 30:70% dan terus menurun seiring menurunnya penerimaan migas nasional.

Lantaran itulah, Pemerintah menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan skema bagi hasil gross split, dengan tujuan mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi lebih efektif dan cepat, bisnis proses lebih sederhana sehingga sistem pengadaan (procurement) yang birokratis dan perdebatan yang terjadi selama ini menjadi berkurang.

"Lebih sederhana, why? Kalau dulu yang namanya WPNB itu harus lewat SKK Migas. Berapa lama di sana? But dengan gross split, proses procurement itu mandiri. KKKS boleh menunjuk kontraktor, mau pakai teknologi manapun terserah. Mau pakai orang manapun terserah, cost kamu yang tanggung," jelasnya.

Tujuan lainnya, mendorong KKKS untuk mengelola biaya operasi dan investasinya dengan berpijak kepada sistem keuangan korporasi bukan sistem keuangan negara. "Cost recovery masuk dalam komponen APBN. KKKS misalnya efisien dan tidak efisien, itu berpengaruh pada APBN kita. Sementara kita tidak punya kekuasaaan yang lebih untuk mengatur bagaimana dia dalam mengelola lapangan minyak. Nah untuk itu kita cut. Kalau Anda (KKKS) tidak efisien, that's your problem karena bagian negara sudah ditentukan di awal (kontrak)," ungkap Wamen.

Mengenai kendali negara dalam sistem bagi hasil gross split, Arcandra menegaskan, sistem bagi hasil gross split tidak akan menghilangkan kendali negara karena penentuan wilayah kerja masih di tangan negara. Demikian pula dengan penentuan kapasitas produksi dan lifting serta aspek komersialnya. "Pembagian hasil ditentukan oleh negara, penerimaan negara menjadi lebih pasti, produksi dibagi di titik serah. Tetap kontrol negara sampai di titik serah," kata Arcandra.

Lebih lanjut Arcandra memaparkan, skema bagi hasil gross split bermanfaat share pain-share gain. Apabila KKKS lebih efisien, maka kedua belah pihak akan mendapat manfaat atau keuntungan.

Manfaat lainnya menurut Arcandra, resiko bisnis dimitigasi melalui insentif split, di mana TKDN juga dipersyaratkan sebagai bagian dari insentif. Bagi KKKS yang menggunakan TKDN hingga 30%, maka bisa mendapatkan tambahan split 2%. Apabila TKDN mencapai 70%, maka tambahan split-nya 4%. "Gross split sangat pro dengan TKDN," tambahnya.

Acara "Migas Goes To Campus" juga menghadirkan mantan Dirjen Migas Rahmat Sudibyo. Hadir pula Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Tunggal dan Dekan FTKE Afiat Anugrahadi. Acara diisi juga dengan sesi tanya jawab serta pertanyaan berhadiah dari Wamen untuk para mahasiswa yang hadir. (DK/TW)