2 Momen Bersejarah bagi Industri Hulu Migas Indonesia

Kamis, 19 Januari 2017 - Dibaca 1424 kali

JAKARTA - Rabu (18/1), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, telah menyaksikan penandatanganan kontrak bagi hasil produksi minyak dan gas bumi (migas) Wilayah Kerja (WK) Offhore North West Java (ONWJ) antara SKK Migas dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Pertamina Hulu Energi (PHE). Kontrak bagi hasil yang berlaku mulai 19 Januari 2017 sampai dengan 18 Januari 2037 ini menggunakan Production Sharing Contract (PSC) skema Gross Split.

Tandatangan kontrak tersebut mencatat 2 momen bersejarah bagi industri hulu migas Indonesia. Sejarah pertama yaitu, untuk pertama kalinya Indonesia menandatangani PSC skema gross split. Sebelumnya, Indonesia lebih mengutamakan penggunaan PSC skema cost recovery, meskipun penggunaan kontrak kerja sama bentuk lain dimungkinkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sejarah kedua, PHE sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan KKKS pertama yang mengambil peran untuk melaksanakan PSC gross split ini.

Pemerintah memutuskan untuk mulai beralih dari PSC skema cost recovery yang telah digunakan sejak berpuluh tahun yang lalu menjadi PSC skema gross split. Hal tersebut disebabkan antara lain karena isu cost recovery dan tuntutan efisiensi biaya operasi (cost) hulu migas. Tren cost recovery relatif meningkat tiap tahun. Cost recovery pada tahun 2010 sekitar US$ 11,7 miliar dan meningkat menjadi US$ 16,2 miliar pada tahun 2014. Meskipun berdasarkan data tahun 2015 dan 2016 (unaudited), besaran cost recovery sempat menurun menjadi US$ 13,7 miliar dan US$ 11,5 miliar akibat rendahnya harga minyak dunia. Pada tahun 2016, penerimaan migas bagian Pemerintah hanya sebesar US$ 9,9 miliar atau lebih rendah dibanding cost recovery yaitu sekitar US$ 11,4 miliar. Kondisi lebih besarnya cost recovery dibanding penerimaan bagian negara terjadi sejak tahun 2015.

Dengan menggunakan skema gross split, penerimaan negara menjadi lebih pasti, karena besaran bagi hasil (base split) Pemerintah dan Kontraktor telah ditentukan di awal, yakni sebesar 57%:43% untuk minyak, dan 52%:48% untuk gas bumi. Base split tersebut belum termasuk pajak yang dibayarkan kontraktor kepada Pemerintah. Pemerintah juga tidak perlu ikut menanggung proses pengelolaan cost recovery. Biaya operasi (cost) migas akan menjadi tanggung jawab Kontraktor, sehingga akan mendorong Kontraktor melakukan efisiensi dalam pengeluaran biaya operasi.

Walaupun bagi hasil ditentukan di awal, negara tetap tidak akan kehilangan kendali atas wilayah kerja karena penentuan wilayah kerja masih berada di tangan negara, penentuan kapasitas produksi dan lifting migas pun ditentukan oleh negara, serta produksi dibagi di titik serah. Perhitungan penerimaan migas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun tidak akan terganggu, karena Pemerintah tidak perlu lagi mempertimbangkan biaya operasi migas yang sebelumnya dikeluarkan oleh kontraktor, untuk dimasukkan dalam APBN.

Penerapan kontrak bagi hasil sistem gross split akan membuat proses procurement pada KKKS menjadi lebih sederhana. Fungsi SKK Migas sebagai Badan pelaksana kegiatan usaha hulu migas pun akan lebih fokus dan kuat. Pemerintah berharap, kontrak bagi hasil skema gross split dapat turut mendorong investasi, karena split bagi Kontraktor dapat meningkat atau menurun sesuai dengan kekhususan kondisi dan lapangan migas. Dengan kontrak gross split, apabila harga minyak kurang menarik, maka Kontraktor bisa mendapatkan tambahan split hingga 7,5%. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2017.

Bagikan Ini!