SOP Turunan Permen ESDM 21/2018 Segera Rampung

Kamis, 19 April 2018 - Dibaca 1537 kali

Luwuk, Pemerintah saat ini sedang menyiapkan aturan baru dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai turunan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Aturan tersebut mengharuskan badan usaha pengelola SPBU meminta izin Kementerian ESDM jika akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi. SOP tersebut akan rampung pekan ini.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Harya Adityawarman mengatakan, bahwa aturan tersebut dibuat tujuannya agar pemerintah mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan badan usaha dalam menaikkan harga BBM non subsidi.

"Pemerintah tak ingin kenaikan ini membuat badan usaha (pengelola SPBU) terlalu banyak meraup untung dari masyarakat. SOP itu mungkin dalam minggu ini kelar. Wong itu cuman kesepakatan sehari saja," katanya saat dijumpai pada acara peresmian lembaga penyalur program BBM Satu Harga di Luwuk, Sulawesi Tengah, Rabu (18/4).

Harya menambahkan, bahwa harga dasar BBM tetap ditetapkan oleh badan usaha. Tapi setiap adanya kenaikan, Kementerian ESDM meminta agar mereka untuk memaparkan secara rinci.

"Kita minta breakdown usulan kenaikan harganya itu. Breakdown-nya itu kalau beberapa harga, komponen pembentuk harga eceran itu satu misalnya, untuk penyediaan BBM itu dia berapa. Setelah kita lihat, benar enggak sih ada pengajuan kenaikan, kenaikannya di sisi mana," tambahnya.

Selain itu, biaya distribusi, penyimpanan, margin, juga akan dilihat pemerintah. Apabila semuanya dianggap relevan, maka pemerintah bisa memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak kenaikan harga dari badan usaha.

SOP tersebut nantinya akan mengatur berapa lama waktu yang dibutuhkan badan usaha, dalam mengajukan kenaikan harga BBM non subsidi dan berapa lama Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, harus memberikan persetujuan atau penolakan.

Sebelumnya, dalam draft SOP yang disiapkan, badan usaha harus mengajukan izin kenaikan harga BBM non subsidi tersebut 15 hari sebelum penetapan. Kemudian Pemerintah akan memberi keputusan paling lambat 3 hari setelah pengajuan izin kenaikan harga. Namun Harya mengatakan bahwa, waktu 15 hari dinilai oleh kalangan badan usaha terlalu lama.

"Nah itu tadi, pertama kali kita buat draft-nya enggak kayak gitu. Dia (badan usaha) bilang, oh terlalu lama. Lalu diganti 10 hari (tapi masih dianggap kelamaan), lalu kita coba 5 hari. Itu yang baru akan kita susun SOP-nya," jelas Harya.

Selain itu, jika sebelumnya Pemerintah mematok margin laba penjualan BBM ritel pada kisaran 5% hingga 10%, dalam SOP tersebut, batas bawah 5% akan dihilangkan. Jadi hanya tersisa batas atas sebesar 10%.

Menurut Harya, penghilangan batas bawah tersebut tidak akan merugikan badan usaha. Mereka masih tetap bisa untung dengan aturan yang baru ini.

"Ya enggak, kalau rugi. Artinya rugi itu begini, kalau volumenya besar, dia hanya 2% juga sudah untung. Tapi kalau volumenya kecil, misal mendekati 10%, seperti sekarang penyalur saja yang di BBM Satu Harga. Pertamina juga untuk volume kecil dia marginnya besar. Tapi untuk yang reguler, marginnya kecil," katanya.

Harya mengatakan, bahwa badan usaha pengelola SPBU sudah pernah diundang rapat untuk mendiskusikan aturan ini. Semua badan usaha yang datang pada rapat tersebut menyetujui pengaturan harga BBM non subsidi ini, hanya saja terkait waktu pengajuan hingga pengambilan keputusan oleh Pemerintah yang masih dibicarakan lebih lanjut.(nok)