Kebijakan Pemanfaatan Gas Bumi di Sektor Ketenagalistrikan

Selasa, 17 Oktober 2017 - Dibaca 2488 kali

Pemerintah tetap mendorong gas bumi untuk lebih dapat dimanfaatkan. Sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah telah menargetkan bahwa bauran energi primer untuk listrik dan non-listrik untuk gas bumi adalah minimal 22% dari 400 MTOE pada tahun 2025 dan selanjutnya meningkat menjadi 24% dari 1.000 MTOE pada tahun 2050. Dengan demikian, maka porsi gas bumi dalam bauran energi primer nasional harus dijaga pada level 22% s.d. 24% pada tahun 2025 hingga tahun 2050. Demikian dikatakan Dirjen Ketenagalistrikan Andy N Sommeng saat menjadi salah satu keynote speaker dalam Seminar "LNG to Power", Senin (16/10), di Hotel Kempinski Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Indonesian Gas Society (IGS) untuk membahas tantangan dan peluang liquefied natural gas (LNG) di Indonesia.

"Apabila kita melihat Neraca Gas Indonesia, permintaan gas dalam negeri diproyeksikan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain, pasokan gas diproyeksikan trend-nya akan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, kita lihat sumber daya alam kita, bisa tidak? Kita ubah paradigma. Dulu kita menganggap impor sebagai hal yang kurang baik, tapi ke depan kenapa tidak?" ujar Andy.

Kementerian ESDM senantiasa berupaya untuk terus meningkatkan pasokan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang diproyeksikan kebutuhannya semakin meningkat, dengan melakukan antara lain adalah tidak memperpanjang kontrak ekspor gas yang telah berakhir kontraknya. Ini karena pasokan domestik meningkat setiap tahun sementara pasokan untuk ekspor menurun setiap tahunnya. Berdasarkan data pemanfaatan gas tahun 2017, porsi terbesar pemanfaatan gas adalah untuk ekspor, yaitu sekitar 28% dari total demand gas; dan diikuti oleh sektor industri yang memanfaatkan gas sebesar 23,53%. Adapun pemanfaatan gas terkecil adalah gas kota yang memanfaatkan hanya 0,05% dari total demand gas.

Andy melanjutkan, jika kita melihat dari sisi infrastruktur gas, saat ini infrastruktur gas telah berkembang dengan baik di wilayah barat Indonesia, sedangkan untuk kawasan timur infrastruktur gas masih sangat terbatas. Oleh karena itu, Kementerian ESDM tengah merencanakan pengembangan infrastruktur gas di kawasan timur Indonesia hingga tahun 2030.

Hal lain yang menjadi perhatian serius dari Kementerian ESDM harga listrik untuk masyarakat harus terjangkau (affordable), sehingga biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan tenaga listriknya harus kompetitif. Berkaitan dengan hal ini, Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 sebagai penyempurnaan Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2017, dimana peraturan ini menjamin ketersediaan pasokan gas dengan harga yang wajar dan kompetitif, baik untuk gas pipa maupun LNG; memberikan kemudahan dalam pengaturan alokasi gas untuk pembangkit listrik; dan memberikan privilege pengembangan pembangkit listrik di mulut sumur (wellhead) melalui penunjukan langsung atau pelelangan umum.

Di akhir paparannya Andy mengharapkan seminar "LNG to Power" ini dapat menghasilkan terobosan atau memberikan masukan kepada Kementerian ESDM dalam pembuatan kebijakan dan regulasi yang lebih memajukan sektor ketengalistrikan dan sektor minyak dan gas bumi ke depan secara lebih seimbang, efisien, transparan, dan akuntabel guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (AMH)