Ditjen Gatrik dan Ditjen PSLB3 Gelar Workshop guna Kurangi Emisi Merkuri PLTU

Selasa, 21 Maret 2017 - Dibaca 3405 kali

Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada Senin (20/3) menyelenggarakan Workshop on Hg emission from coal fired power plants in Indonesia. Workshop yang didukung oleh United Nation (UN) Environment Programme dan International Energy Agency (IEA) ini mengundang seluruh pelaku usaha PLTU batubara di Indonesia. Acara ini bertujuan meningkatkan pemahaman emisi merkuri dari PLTU batubara dan peluang penurunan emisi merkuri khususnya dalam pencapaian penurunan emisi tersebut sebagai usaha co-benefit dari pengendalian berbagai pencemaran emisi gas buang.

Acara dibuka dengan sambutan Dirjen PSLB3, Tuti Hendarwati Mintarsih, dilanjutkan dengan pembukaan oleh Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Alihuddin Sitompul membacakan sambutan Dirjen Ketenagalistrikan. Tuti mengungkapkan bahwa emisi merkuri dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara menjadi semakin diperhatikan terutama dengan ditandatanganinya Konvensi Minamata oleh Pemerintah Indonesia di tahun 2013. Menurutnya merkuri (Hg) adalah senyawa kimia yang berbahaya dan beracun dan dijumpai pada limbah PLTU Batubara, padahal pemerintah saat ini tengah menggalakkan pembangunan PLTU seiring pertumbuhan kebutuhan listrik dan rencana percepatan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.

Alihuddin Sitompul mengungkapkan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2016 - 2025, kebutuhan listrik di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan akan meningkat sebesar 8,6% pada tahun 2016 - 2025. Menurutnya sangat penting untuk mengembangkan infrastruktur di sektor Ketenagalistrikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 6% per tahun. "Pengembangan infrastruktur di sektor Ketenagalistrikan juga dibutuhkan untuk mendukung pencapaian target rasio elektrifikasi 97,35% pada tahun 2019," ungkap Alihuddin.

Terkait penggunaan batubara untuk pembangkit listrik, Alihuddin menyatakan bahwa saat ini pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa program diantaranya Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tahap I dan Tahap II, serta Pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW, dimana didominasi oleh PLTU dengan bahan bakar batubara, yaitu kurang lebih sebesar 50%. Dengan meningkatnya jumlah PLTU yang akan beroperasi maka akan menyebabkan peningkatan jumlah pemakaian batubara, yaitu yang saat ini 77 juta ton menjadi 111 juta ton pada tahun 2019.

Sejalan dengan semakin banyak PLTU batubara yang akan beroperasi, maka akan menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup. Sebagai contohnya, kegiatan operasional PLTU akan menghasilkan sisa gas buang (emisi) yang mengandung bahan pencemar, diantaranya SO2, NO2, partikulat dan CO2. Bahkan tidak hanya itu, banyak pihak pihak berpendapat bahwa terdapat kandungan merkuri pada emisi PLTU. Merkuri dikategorikan sebagai zat kimia yang berbahaya karena dapat menyebabkan bioakumulasi pada tubuh manusia yang berpengaruh pada kerusakan sistem syaraf yang dapat mengakibatkan cacat dan kematian.

Alihuddin mengapresiasi UN Enviroment Programme, IEA, dan Kementerian LHK yang bersedia memberikan pemahaman mengenai bahaya merkuri dan cara menguranginya melalui workshop ini. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan pemaparan mengenai produksi listrik dari PLTU batubara oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Munir Ahmad dilanjutkan dengan paparan tentang monitoring polusi dan perencanaan implementasi Minamata oleh Kementerian LHK. Hadir pula perwakilan dari Direktorat Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan yang memaparkan Rencana Aksi Nasionl Dampak Merkuri. Terkahir, Direktur Batubara IEA, Lesley Sloss menyampaikan paparan tentang BAP/BEP Emission Control and Reduction serta Live iPOG presentation yang memaparkan secara teknis cara mengontrol emisi merkuri dari pembangkit batubara. (PSJ)