Transisi Energi Tetap Perhatikan Keterjangkauan

Selasa, 23 November 2021 - Dibaca 700 kali

Pemerintah terus berupaya mencanangkan berbagai program menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Salah satunya adalah dengan transisi energi dengan mendorong pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengantikan pembangkit fosil. Namun proses transisi energi dari fosil ke EBT tersebut harus tetap memperhatikan keterjangkauan. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Program Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mewakili Direktur Jenderal Ketenagalistrikan dalam acara The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 dengan tema "Energy Transition Scenario Towards Net Zero Emission" di Jakarta, (23/11/2021).

"Dalam pengembangan EBT, pemerintah tetap menjaga agar biaya pokok penyediaan (BPP) tidak naik. Kita identifikasi mana EBT yang benar-benar kita bisa masukkan dan tidak berakibat kepada ya naiknya tarif dasar listrik (TDL), kita enggak menginginkan itu ya," ujar Jisman.

Lebih lanjut Jisman menjelaskan bahwa pemerintah tengah mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung sebagai pemanfaatan waduk di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan tujuan mengurangi pengeluaran biaya lahan untuk PLTS sehingga bisa menekan BPP.

"Ini peluang untuk kita, negara kita cukup banyak mendapat matahari. Namun demikian karena PLTS bersifat intermittent, perlu kita perhitungkan dan kami dengan sangat cermat menghitung dengan mencoba memanfaatkan waduk yang ada PLTA nya dengan pengadaan PLTS terapung ini sehingga mengurangi biaya untuk lahan," jelas Jisman.

Green RUPTL PLN 2021-2030 disebut Jisman sebagai langkah awal Indonesia menuju NZE, beberapa poin penting dari RUPTL tersebut diantaranya adalah target rasio elektrifikasi 100% pada tahun 2022 dimana akses listrik harus sampai kepada semua masyarakat baik di kota maupun di daerah desa. Pemerintah juga menghitung dengan sangat cermat bagaimana keseimbangan neraca daya listrik pada setiap sistem koneksi, suplai dan demand listrik harus seimbang sesuai dengan formula 30% daya sebagai reserve margin.

Jisman mengatakan bahwa dalam RUPTL saat ini, pemanfaatan Cofiring PLTU terus didorong dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Dan disebutnya tidak ada lagi penambahan pembangkit batubara dalam RUPTL ini, namun pemerintah tetap melanjutkan PLTU yang telah yang telah kontrak atau konstruksi.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Operasi II PT Indonesia Power Bambang Anggono menyampaikan bahwa PT Indonesia power mendukung usaha pemerintah dalam transisi energi menuju Net Zero Emission.

"Indonesia Power memulai studi Cofiring PLTU Biomassa pada tahun 2018, dan pada tahun 2021 pengembangan Cofiring PLTU sudah dilakukan di beberapa pembangkit bekerjsama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ujar Bambang.

Jisman menyatakan bahwa saat ini pasokan listrik Indonesia sudah mencukupi dan ini saat yang tepat untuk menjalankan program transisi energi di pembangkitan kelistrikan nasional dari energi fosil ke energi EBT.

"Kita pastikan RUPTL 2021-2030 sudah green, porsi pembangkit EBT vs Fosil lebih besar yaitu 52% banding 48%, dengan demikian kita berharap RUPTL ini bisa membuat emisi karbon lebih rendah," tutup Jisman. (U)